Sebelum Kehilangan
Bagaimana
kabarmu, Rindu? Apa kabar mimpi-mimpi yang pernah kita lukis dahulu? Akankah
masih basah tinta itu atau sudah mengering? Maafkan aku atas rentetan
pertanyaan tak mendasar itu. Aku hanya ingin tahu, cukup ingin tahu saja
bagaimana harimu tanpa kehadiran diriku.
Sungguh,
semalam bola-bola mataku tak ingin mengunci dirinya dalam buaian selimut
kelopak mata. Betapa keras pun kucoba, ia hanya bergeming dalam kesepian tak
terkira. Otakku kembali memutar-mutar rekaman kebersamaan kita –di waktu itu,
sebelum aku memutuskan untuk menjauh darimu –perlahan-lahan. Memainkan
permainan bodoh yang aku sebut: petak umpet.
Kukira kelak
kau akan mencari aku dimanapun ku berada, bahkan di ujung dunia sekalipun! Namun
bodohnya aku, mengabaikan kekerasan hatimu yang (mungkin) kini telah terbiasa
tanpaku. Sungguh kebodohan yang tidak termaafkan!
Aku kalah,
kalah, bahkan sebelum permainan itu dimulai. Tanpa kusadari rupanya duri
permainan ini mengoyak hatiku terlebih dulu. Permainan yang ingin kumainkan
namun malah mempermainkan diriku. Sial! Berbagai macam sumpah serapah keluar
dari mulutku yang tak mau diam mengadu.
Aku yang
menghilang, tetapi aku pula yang kehilangan. Sesuatu yang hilang tak mungkin
kembali dalam bentuk sama, bahkan sama sekali berbeda. Aku yang kehilanganmu
saat ini, mungkin akan menemukanmu dalam bentuk lain: kau dan semestamu. Dan
harapan-harapan itu? Ah, biarlah! Tak ada lagi harapan itu.
Ah sudahlah,
Rindu? Semoga kau baik-baik saja. Hanya saja, ada yang masih mengganjal di
hatiku, Rindu. Aku tak ingin rasa ini berubah menjadi dendam seperti rasa yang
telah lalu. Sebab dendam perempuan sulit diobati, Rindu. Jangan kau dengar dari
mulutnya, tapi dengarlah dari hatinya. Meski kau dengar dari mulutnya, “Aku
baik-baik saja,”. Namun belum tentu hatinya berkata demikian, Rindu.
Kemana perginya
dikau ketika aku butuhkan, Rindu? Percakapan-percakapan menggantung di antara
kita, telepon-telepon yang tak bertemu ujungnya, bahkan sajak-sajak yang terlena? Aku menunggunya,
Rindu.
Rindu, jangan
kamu kira aku tidak tahu. Kau memang menghilang dari pandanganku, namun hatimu?
Tidak semudah itu. Jangan-jangan kau tidak mengerti semua ini, Rindu? Apakah
kau anggap semua ini hanya retorika kosong yang tak pernah masuk ke telingamu?
Atau hanya percikan buih di lautan yang sekejap menghilang tanpa kita tahu
kemana perginya?
Ah sudahlah,
Rindu. Tak perlu ku lanjutkan omong kosong ini, jika pun kamu telah memilih
demikian. Lebih baik kita fokus pada tujuan masing-masing, seperti yang pernah
dulu kau katakan padaku. Jalan kita memang berbeda. Sejak awal kau memilih
duniamu dan akupun demikian. Namun, bagaimana dengan tujuan? Masihkah ada
kemungkinan sama?
Jika tujuan
kita sama, maka darimanapun kita berasal, maka akan sampai di puncak yang sama
juga. Aku ingat pepatah lama: jika ia milik kita, maka sekeras apapun kita
menolaknya, ia akan kembali jua. Jika sesuatu itu bukan milik kita, maka seerat
apapun kita menggenggamnya, maka akan terlepas jua. Dan takdir tak mungkin
salah memilih orang, Rindu. Sebab ia milik Yang Maha Cinta, yang cinta-Nya
meliputi alam semesta. Selamat berjumpa kembali di garis takdir, Rindu!
Oleh: Lailatus Syarifah, Penggenggam Diam
Sumber: Baladena.ID
Komentar
Posting Komentar