Pemuda di Ujung Senja
![]() |
ilustrasi:google |
Hujan
deras mengguyur desa petang ini. Kian lama kian deras hingga memaksaku untuk
mengintip sungai di belakang rumah. Rupanya ketinggian air sudah mencapai
tinggi tanggul. Sekejap kemudian terdengar gelegar petir bersamaan dengan suara
dentuman dahsyat yang memekakkan telinga.
Spontan
saja, segera ku hadapkan muka ke sumber suara. Rupanya tanggul tak lagi kuat
membendung luapan sungai. Dalam seketika, konstruksi berbahan dasar batu,
pasir, semen dan kawan-kawannya itu luluh lantak oleh sekali gebrakan. Tanggul
yang dulunya menjadi kebanggaan warga, kini sudah tak lagi berwibawa, yang ada
hanyalah malapetaka.
Lupakan
soal tanggul itu, dengan posisi yang serba terjepit, waktu sempit, segera kuambil
barang-barang prioritas yang bisa kuselamatkan. Kemudian aku lari
pontang-panting menjauhi amukan aliran sungai yang kian menjadi itu.
Hingga
malam menjelang, banjir tak segera surut, bahkan tingginya kini mencapai atap
rumah warga. Tak lama kemudian datanglah tim SAR dengan seragam khasnya: baju
oranye dan perahu karet. Dengan cekatan, Tim SAR menyusuri tiap sudut rumah dan
lorong-lorong sempit. Dengan kecepatan gerak dan kejelian pandangan, mereka
menjumpai seonggok tubuh tak bernyawa, terkulai lemas tersangkut di ujung pohon
rambutan. Ternyata seorang pemuda paruh baya: baju robek di sana sini –akibat
terseret banjir-, celana rumpang separuh, dan sebuah kartu tanda pengenal ditemukan
di saku celana.
Seketika
ingatanku melayang ke masa 20 tahun lalu. Masa di mana jiwa mudaku sedang
bergejolak, pencarian jati diri sedang gencar-gencarnya kulakukan.
***
“Lala,”
sapa seorang pemuda berparas menyejukkan sambil tersenyum manis kepadaku.
“Eh,
Kak Gala,” dengan gugup aku balas sapaan itu.
“Ngapain
kamu di sini?,” tanyanya.
“Eh,
aku ee nggak ngapa-ngapain, Kak. Cuma suka aja sama pemandangannya,” agak
gugup, kujawab sekenanya saja.
“Ooh
begitu, hari sudah petang, loh. Anak perempuan jangan main sampai sore. Konon
kata leluhur, ada jin yang suka menculik anak-anak waktu petang menjelang.
Biasanya jin itu datang berwujud manusia tampan, membawa segenggam pasir yang
konon ketika ditaburkan ke sekeliling korbannya, maka korban akan terhipnotis,
dan akhirnya dengan mudah dia bisa membawa korban ke tempat tinggalnya di dasar
danau, dan korban pun tak akan kembali. Kalaupun kembali, nyawanya sudah tak
ada lagi,” jelasnya panjang lebar.
“Dan
jinnya adalah Kak Gala sendiri, iya, kan?,” dengan lidah menjulur, perlahan
bergerak menjauh, berlari dari Kak Gala.
“Loh,
kamu ini belum tahu, yah? Sini aku kasih tahu,” dengan kepalan tangan, ia
mengejarku hingga ke ujung pelarianku.
Petang
yang berkesan. Dengan gembira kulangkahkan kaki menuju rumah tercinta. Ingin
segera ku tumpahkan kegembiraanku hari ini di atas lembar buku harianku.
Waktu
pun mulai merangkak perlahan, meninggalkan kenangan lalu. Aku tumbuh menjadi
perempuan dewasa, sama seperti dia, yang dulu pernah ku lukis harap untuk memadu
hidup dalam bingkai cinta.
Namun
di suatu sore, ia datang padaku dengan membawa hatinya.
“Lala,
apakah kamu tahu rasanya jatuh ke dalam jurang yang dalam? Yang di dalamnya tak
ada kehidupan, kemungkinan besar ditemani ular-ular yang senantiasa merasa
lapar?,” tiba-tiba dia menyerangku dengan pertanyaan anehnya.
“Tentu
kamu tak akan tahu rasanya, dan aku tak ingin kamu merasakannya,” kata-katanya
semakin menenggelamkanku dalam kebingungan.
“Sejak
pandangan kita bertemu pada senja di pinggir danau itu, aku merasa jatuh, jatuh
di pelupuk matamu. Aku sadari sejak awal memang, ada yang beda pada dirimu.
Kamu unik, dan aku suka itu,” lanjutnya lagi.
“Ah
sudahlah, nanti kamu akan tahu. Untuk sementara waktu, aku akan pergi ke suatu
tempat, aku harap kamu mau menungguku kembali. Namun, jika aku lama tak
kembali, mungkin aku sudah dibawa jin. Hehe,” aku merengut kesal dan mencubit
lengannya.
“Aduh,
sakit, La. Suatu saat aku pasti akan merindukan cubitanmu lagi. Biarkan langit
menjadi saksi bisu atas pertemuan ini,” katanya sambil tertawa.
Dia
pamit, dan aku hanya terdiam dalam kebisuanku. Bayang-bayangnya mulai
menghilang di ujung jalan. Derap langkahnya tak terdengar lagi di telinga.
Tiba-tiba
ketakutan menyergap erat diriku. Tak bisa ku pungkiri, aku pun begitu, sejak
lama aku sudah jatuh di matanya. Hingga tak kusadari, butir-butir bening
meluncur halus di pipi. Dia dan hatinya, sudah terukir kuat di dalam sanubari.
Malam
menjelang, dengan berat hati ku langkahkan kedua kaki menuju rumah-tempat
dimana aku membasuh luka, agar tak menjadi duka. Tempat menuang air mata, agar
tak mencederai jiwa.
***
Hingga
kini aku berdiri, tak ada yang tahu, apakah rasa itu masih sama seperti dulu,
ataukah sudah hilang dari akarnya?
“Nak,”
tiba-tiba seseorang menepuk punggungku dari belakang. Aku tergagap dan
buru-buru mengusap air mata.
“Kamu
kenal orang itu?, “ tanya tim SAR.
Aku
tak menjawab pertanyaan bapak itu. Dengan lemas aku melangkahkan kaki, berjalan
menuju seseorang yang mengevakuasi korban tadi.
“Pak,
boleh saya lihat korban?, “dengan ragu-ragu aku bertanya.
“Boleh,
Nak. Silakan saja, siapa tahu kamu kenal pemuda ini dan bisa mengabarkan kepada
keluarganya. Pasti keluarganya mencari keberadaan orang ini,” ungkapnya.
Dengan
penuh hati-hati, ku buka plastik penutup jasad itu. Dan betapa terkejutnya aku,
hatiku terasa tertusuk sembilu, beribu-ribu duri menghujam jantungku.
“Gala,”
lirih ku sebut namanya. Tangisku pecah seketika, tangis tak bersuara, namun
gemanya mengguncang jiwa. Badanku bergetar, merinding, harapanku hancur,
pertemuan dengan orang yang ku harapkan ternyata seperti ini pahitnya. Ku coba
menggoyang-goyang badannya, berharap semoga ada keajaiban muncul. Namun
badannya sudah kaku, dingin, tak kudengar lagi hembusan nafasnya. Tak ku lihat
lagi aliran darah di badannya yang sudah lebam membiru.
Kini
aku mengerti, apa maksud perkataan yang ia rapalkan di petang itu. Ia tak ingin
melihat aku jatuh, seperti yang ia rasakan. Namun, aku tak peduli lagi dengan
kata-katanya itu, yang ku tahu dia sudah melanggar janji. Dia dan hatinya sudah
mendarah daging dalam jiwaku. Aku akan mendekap erat kenangan ini, dan mulai
berdamai dengan masa lalu.
Komentar
Posting Komentar