Lelaki Tua dan Kematian
![]() |
google.com |
Oleh: Lailatus Syarifah
Mahasiswi Pendidikan Matematika dan
Calon Kru Magang LPM Frekuensi angkatan 2018
Angin semu berembus lembut dari utara ke
selatan, pagi ini. Menerbangkan dedaunan kering yang terserak tak karuan di
jalanan. Sementara di ujung jalan, seorang gadis muda; berambut hitam pekat
terurai panjang, sorot matanya berbinar, dan berbulu mata lentik namuntampak
layu. Pandangan matanya kosong, usikan angin dan kicauan burung tak berhasil
mengubah pendiriannya. Tubuhnya membeku dihunjam waktu. Namun, siapa sangka di
balik tubuh dinginnya, tersimpan letupan-letupan pertanyaan yang mampu
membungkam tiap orang yang mendengarnya.
Dilema telah menghanyutkan nuraninya. Di
satu sisi, menurut perasaannya sebagai perempuan, ia menolak keputusannya untuk
mengakhiri ikatan kasih itu. Namun, di lain sisi, Sang Penali Kasih tengah
mendera hatinya tak ada ampun, dengan bermacam siksaan yang sanggup menggugurkan
daun muda dari tangkainya.
“Apa yang kau sesalkan dari perpisahan
ini? Bukankah ia telah banyak menyakitimu? Perkataan yang ia lontarkan sama
sekali tak pantas diucapkan seorang pria sejati,” suara seorang lelaki tua
mendadak menyusup ke lubang telinganya. Ia tersentak kaget dan refleks
menolah-nolehke berbagai arah. Namun, tiada siapa-siapa di tempat itu, kecuali
gesekan mesra dedaunan kering di sepanjang jalan. Dan kini ia kembali dilanda
sepi.
***
Tak terasa telah sepuluh jam ia termenung
di sana seorang diri. Badannya melemah, dan air matanya kerontang. Ia
menghabiskan waktu dengan penuh kesia-siaan.
“Mengapa harus begini, Dam? Mengapa kau
memilih dia, padahal ...” si gadis tiba-tibaterdiam, air matanya kembali
meluber. “Aku harus bagaimana lagi, Tuhan?” Ia meratap memilukan hati.
Gadis bermata lentik itu menangis tak
ada henti, menyalahkan siapa saja yang terlintas di benaknya. Hidup tak lagi
adil, setidaknya begitu baginya sekarang.
Matahari menyurut, angin darat mulai
bertiup. Hawa dingin kembali merebak menusuk tulang. Dengan gontai, ia
melangkahkan kedua kaki ke peraduannya, meninggalkan tempat di mana hatinya
pernah begitu berbunga-bunga. Tempat di mana ia pernah menggantungkan
berkarung-karung harapan kepada seorang pria. Tempat di mana ikrar sehidup
semati pernah digaungkan, bergema di sekujur angkasa serta diamini seisi bumi
dan langit.
Ah, tapi ia telah dibuat jemu oleh
kata-kata klisenya. Muak sudah dirinya mengagumi pria berhati iblis itu.
Andaikan ia malaikat, sudah dicabutnya Bukit Pualam dari akar-akarnya untuk
kemudian ditimpakan ke atas sang pria keparat. Namun, ia tak mampu. Ia sungguh
tak mampumelakukannya. Kaki-tangannya terlalu lemah untuk itu semua. Hatinya
telanjur terpecah belah,terserak di mana-mana. Mulutnya bak terkunci rapat usai
mendengar pernyataan sang pria keparat.Ia bagai tersambar geledek di siang
bolong.
Kini air matanya mengering sudah,
langkahnya patah-patah, matanya sendu. Ia biarkan rambutnya terurai dan
tersibak angin senja. Sementara di pojok taman, seorang lelaki tua berjenggot
putih tengah duduk, khusyuk memandangi gadis bermata lentik tadi.
“Wahai gadis muda, apa yang membuatmu
resah hingga wajahmu kusut bagai baju yang tak pernah mengenal setrika?“ tanya
lelaki tua itu, menyapa. “Kemarilah, duduk bersamaku, ceritakan semuanya
kepadaku, barangkali aku bisa membantumu,” lanjutnya sambil bergeser
mempersilakan si gadis duduk di sampingnya. Sang Gadis seolah terhipnotis
kata-katanya dan segera mendekati silelaki tua. Dengan langkah gontai ia menuju
ke tempat lelaki tua itu tanpa ragu.
Sekonyong-konyong hawa dingin menyergap
tubuhnya. Daun-daun berterbangan seolahmemberi sebuah isyarat. Namun, ia tak
menyadari hal itu.
“Aku adalah kematian, sepanjang malam
aku lelah memilih siapa yang rela memberikan napasnya untuk kupintal bersama
cahaya dan membawanya ke angkasa. Jika rambut putihku bertambah satu helai,
maka berkuranglah satu kehidupan, karena roh manusia yang kubawa akan menempel
di ubanku,” ucap lelaki tua itu mantap.
“Pak Tua, aku bahkan telah mati, jauh
sebelum Tuhan menciptakan kematianku,” balas Sang Gadis sambil beranjak
meninggalkannya. Lelaki tua itu mematung melihat Sang Gadis berlalu dari
hadapannya.
Keesokan harinya, Sang Gadis kembali
menemui lelaki tua tersebut di tempat biasanya, lalumenceritakan semuanya dari
awal sampai akhir. Hingga akhirnya Sang Gadis berucap, “Pak Tua, jika yang kau
minta adalah kematianku, maka aku sudah kehilangan itu sejak lama. Sejak
kekasihku pergi pada suatu senja yang buta.” Sang Gadis terus menatap si lelaki
tua, bersiap menuntaskan ceritanya. “Aku merasa kematian telah merasukiku
melalui lubang mulut dan hidungku. Kau bisa mengambil kematianku kapan saja,
bahkan malam ini.”
“Baik, tunggulah kedatanganku malam
nanti, dan aku akan melepas kesedihan dan rohmu,” kata Pak Tua menyanggupi.
Malam itu, Sang Gadis menunggu Pak Tua
datang mengambil nyawanya, dan ia akan segerabersukaria merayakan kematiannya.
Namun, di luar dugaan, Pak Tua tak kunjung datang. Ia tak menepati janjinya.
Kemudian ditunggunya hingga esok malam, dan rupanya Pak Tua tak jugamenampakkan
batang hidungnya. Hal ini terus berulang berhari-hari kemudian.
Sang Gadis pun penasaran dan mulai
mencari keberadaan Pak Tua, hingga suatu hari ia menemukan mayatnya teronggok
menyedihkan di bangku taman. Sang Gadis pun terkejut, takpercaya atas apa yang
dilihatnya. Kematian Pak Tua dalam satu dan lain hal telah memberinya banyak
pelajaran. Namun yang terpenting ialah, ia akan selalu mempertahankan hidupnya
sepahit apapun itu. Karena tiap-tiap masalah akan mendewasakannya dengan
berbagai macam cara yang tak terduga sekalipun.
sumber: Kabar Frekuensi
Komentar
Posting Komentar